Daftar Isi

Daftar Isi

Selasa, 20 Januari 2009

Sosialisasi Undang-Undang BHP

Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. Seluruh fraksi di DPR mendukung pengesahan UU BHP ini. Kalau mengacu pada pasal 75 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) seharusnya UU ini sudah diundangkan paling lambat pada tanggal 8 Juli 2005. 

Akan tetapi untuk kehati-hatian dan upaya konsultasi publik, Draft pertama RUU BHP, 26 Februari 2004 melalui jalan yang panjang untuk menjadi draft RUU 21 Maret 2007 yang siap diserahkan ke Presiden selanjutnya ke DPR. setelah 21 bulan dibahas bersama DPR RI dan dilakukan uji publik di seluruh Indonesia, RUU 21 Maret 2007 ini mengalami dinamika penyempurnaan yang luar biasa juga, sehingga akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang BHP.

Setelah pengesahan, menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional untuk melakukan sosialisasi terhadap Undang-Undang BHP ini kepada berbagai pemangku kepentingan seperti kepada segenap pimpinan satuan pendidikan, Badan Eksekutif Mahasiswa, Media Massa. Dalam konteks sosialisasi ini, Departemen Pendidikan Nasional juga melakukan kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi dan mengundang Komisi X DPR RI. Berbagai media komunikasi sosialisasi dimanfaatkan secara efektif dan maksimal oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA., dalam setiap memulai sosialisasinya selalu meminta kepada segenap pemangku kepentingan, termasuk pihak yang menolak, “iqra’, iqra’, iqra’, bacalah dengan seksama sebelum berkomentar, menolak atau melakukan judicial review”. Beberapa kali, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, dr. Fasli Jalal, Ph.D, juga menekankan “sebelum usaha hukum, baca dulu UU-nya”. Penolakan ini muncul lebih karena para kritikus belum membaca dan memahami secara utuh UU BHP ini, sehingga opini penolakan yang dibangun tidak terlalu solid.

Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1, 2, 3, dan 4). Pada ayat (1) disebutkan “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum” dan pada ayat (4) dikatakan “ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang”.

Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN. Dengan disahkannya UU BHP, menurut bapak Menteri Pendidikan Nasional, tidak ada lagi istilah BHMN, semuanya menjadi BHP dan tunduk kepada UU BHP. BHMN itu sendiri akan menjalankan masa transisi menuju BHP pada tata kelola selama interval waktu 3 tahun dan 4 tahun untuk pendanaan setelah UU BHP diundangkan. 

 
Kendatipun UU BHP adalah hukum khusus (lex specialis), tapi posisinya tidak terlepas dari konstruksi regulasi lain yang mengatur tentang pendidikan seperti UUD 1945, terutama pasal 28 dan 31, UU sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Perpustakaan. Menurut Prof. Johanes Gunawan, Guru Besar Hukum Perjanjian Unpar yang juga menjadi panja RUU BHP pemerintah dan Komisi X DPR, UU Sisdiknas sebagai hukum yang umum (lex generalis) tetap berlaku manakala UU BHP sebagai hukum yang khusus tidak mengaturnya. Menurut Prof. Johanes, jangan keliru memahami asas lex specialis derogat legi generalis.

UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Selama ini relatif otonomi yang didapat oleh satuan pendidikan hanya otonomi akademik, sementara non akademik relatif tidak ada, kecuali swasta. Saat ini dengan BHP ada otonomi dalam perikatan, otonomi manajemen operasi, otonomi manajemen pemasaran, otonomi manajemen personalia, otonomi manajemen keuangan, otonomi administrasi dan umum. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. 

Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.

Menteri Pendidikan Nasional menyebutkan suatu terminologi yang sangat menarik terkait alasan mendasar lain kenapa UU BHP ini harus hadir, yaitu untuk demokratisasi satuan pendidikan dengan model demokrasi kekitaan, bukan model demokrasi kekamian seperti di korporasi-korporasi. Dalam model demokrasi kekitaan ini tidak ada pihak pemangku kepentingan yang tereksklusi, semua pemangku kepentingan terwakili dalam representasi pemangku kepentingan. Sementara itu dalam korporasi, RUPS hanya mengakomodasi demokrasi antar sesama pemegang saham dan mengekslusi pihak-pihak pemangku kepentingan lain seperti manajemen, karyawan, pelanggan, publik dan lain sebagainya.

UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi. 
UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikit 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi. Bapak Herry Achmadi dari Dewan Perwakilan Rakyat menyebut UU BHP ini sebagai UU yang pro poor atau dalam istilah bapak Menteri Pendidikan Nasional, UU yang beridiologikan sosialistik.

Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini. 

Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum dan juga konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Sanksi hukum dalam BHP dibagi dalam sanksi administrasi dan sanksi pidana. Bab XII, Pasal 63 tentang sanksi Pidana yang berbunyi “ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” adalah garansi atas tidak adanya komersialisasi dalam dunia pendidikan. Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) dan pasal 39 adalah pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.(Sumber: dikti.go.id)

0 komentar:

  © Blogger template 'Minimalist G' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP